Sejarah JBT
Bali merupakan salah satu provinsi Indonesia memiliki “magnet” yang bisa menggaet wisatawan dari berbagai belahan dunia. Pulau Dewata ini punya beragam jenis wisata mulai dari alam, budaya, hingga kuliner. Setiap tahunnya, tidak kurang 10 juta wisatawan membanjiri Bali. Jumlah tersebut selalu meningkat setiap tahunnya Tak heran Bali dinobatkan sebagai World’s Best Island tahun 2009 versi Majalah Travel and Leisure dan pada tahun 2017, Bali menduduki peringkat pertama dari 25 destinasi terbaik di dunia. Mengalahkan destinasi-destinasi di Eropa, Amerika, sampai Timur Tengah versi situs TripAdvisor.
Pesatnya pertumbuhan industri pariwisata di Bali membawa konsekuensi pada pesatnya tingkat kepemilikan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat/lebih. Pada tahun 2010 jumlah kendaraan mencapai 3,171,824 kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 terjadi peningkatan sekitar 10% tiap tahunnya. Peningkatan volume kendaraan ini tidak seiring dengan penambahan jaringan jalan maupun infastruktur dasar lainnya.
Selama ini satu-satunya akses yang menghubungkan wilayah utara dan selatan hanyalah jalan By Pass I Gusti Ngurah Rai. Jika akses ini terganggu, maka hubungan utara-selatan Bali akan terputus. Pada tahun 2010, By Pass I Gusti Ngurah Rai kondisinya sudah sangat macet, terutama di persimpangan Dewa Ruci dan persimpangan sebidang (pertigaan) ke arah Bandara Ngurah Rai. Untuk menempuh jarak 10 kilometer saja diperlukan waktu tidak kurang dari 2 (dua) jam.
Kemacetan di Bali tanpa disadari telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy), terutama konsumsi bahan bakar, oli, pemakaian suku cadang dan yang paling berharga adalah travel saving time mengingat tujuan wisatawan ke Bali adalah untuk mengunjungi sebanyak mungkin lokasi-lokasi wisata. Kondisi kemacetan di Bali tidak hanya dikeluhkan oleh wisatawan, namun pengusaha hotel, penyedia jasa alat transportasi, sampai sopir taksi.
Pemerintah kemudian memerintahkah empat BUMN, PT Jasa Marga (Persero) Tbk., PT Pelindo III (Persero), PT Angkasa Pura I (Persero), dan PT Pengembangan Pariwisata Bali (Persero) untuk mencari solusi paling efektif mengatasi kemacetan di Bali selatan, dengan menggunakan konsep jalan tol.
Keempat BUMN tersebut kemudian sepakat membentuk konsorsium dan menunjuk Jasa Marga sebagai lead konsorsium dengan pertimbangan Jasa Marga merupakan satu-satunya BUMN yang paling berpengalaman di bidang pengelolaan jalan tol.
Pada tanggal 18 November 2010, MOU kesepakatan, beberapa hari sebelum diterimanya penetapan pemenang tender dari Menteri PU tersebut, Konsorsium BUMN telah membentuk badan usaha jalan tol (BUJT) dengan nama PT Jasamarga Bali Tol, dan telah memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM melalui Surat Keputusan Nomor AHU-57740.AH.01.01, tanggal 25 November 2011.
Berdasarkan hal tersebut, maka pada tanggal 16 Desember 2011, ditandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) antara PT Jasamarga Bali Tol (JBT) dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) atas nama Pemerintah c.q. Kementerian Pekerjaan Umum yang kemudian dinotariskan dengan akta Nomor 10 tanggal 16 Desember 2011 oleh Rina Utami Djauhari, S.H., notaris di Jakarta, dengan masa hak pengusahaan jalan tol selama 45 (empat puluh lima) tahun yang berlaku efektif sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Mulai Kerja (SPMK) atau terhitung mulai tanggal 10 September 2012.